Sejarah Djawa Baroe!! Dalam Masa Perang Dunia II (1943-1945)

Foto di kelola oleh tim residu lampau (Digital Collection)

Kisah balik Djawa Baroe 

Djawa Baroe adalah majalah propaganda pemerintah pendudukan Jepang yang terbit pertama kali pada 1 Januari 1943 oleh Jawa Shinbunkai dan dicetak oleh Kojisima. Penyebaran majalah ini dilakukan terutama di 6 wilayah unit operasi distrik di enam kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, YogyakartaSurabaya, dan Malang (Kurosawa 1993: 266). 

Majalah ini menjadi salah satu media propaganda yang efektif karena menggabungkan elemen visual yang menarik dengan konten yang dirancang untuk mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pemerintahan Jepang. Melalui penerbitan Djawa Baroe, Jepang melakukan berbagai upaya propaganda di bidang pendidikan, sastra, seni, sosial budaya, dan militer. Secara keseluruhan, propaganda tersebut bertujuan untuk menunjukkan kehebatan Jepang dalam Perang Pasifik dan mendorong penduduk setempat untuk mendukung Jepang melawan Sekutu.

Foto di kelola oleh tim residu lampau (Digital Collection)


Pidato Bung Karno pada saat upacara perayaan Djawa Baroe ke III

''Marilah kita menderita segala kekoerangan se-beloem menghantjoer-loematkan Amerika- Inggeris!!'' (ucap bung karno dalam pidatonya)
Pernyataan ini menunjukkan sikap perlawanan terhadap kekuatan kolonial Barat, yaitu Amerika dan Inggris. Pada masa itu, Bung Karno berupaya membangkitkan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang dianggap sebagai musuh. Dalam konteks sejarah, pernyataan ini dibuat selama Perang Dunia II, di mana Indonesia sedang berada di bawah pendudukan Jepang. Jepang saat itu sedang berkonflik dengan sekutu, termasuk Amerika dan Inggris, sehingga pernyataan ini juga mencerminkan dinamika geopolitik global. Dengan demikian, ucapan Bung Karno ini adalah sebuah manifestasi dari tekad untuk berjuang melawan penjajahan, menyerukan persatuan, dan kesiapan untuk menghadapi penderitaan demi mencapai kemerdekaan dan kebebasan bangsa.

''Kemerdekaan tidak bisa kita terima begitu saja seperti hadiah, kita harus merdeka dengan keringan perjuangan dan darah kita sendiri. Jangan mengira bahwa, pekrjaan mengurus negara Indonesia yang merdeka itu adalah pekerjaan yang gampang, pahlawan kita di zaman kerajaan sriwijaya dan majapahit telah mencobanya tetapi gagal'' (ucap bung karno).

Pernyataan bung karno menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang didapatkan dengan mudah atau diberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan dengan upaya dan pengorbanan yang besar. Dalam hal ini, perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan memerlukan pengorbanan, baik dalam bentuk keringat maupun darah. Pernyataan tersebut juga mengingatkan bahwa mengurus negara yang merdeka bukanlah tugas yang mudah, dengan merujuk pada sejarah bangsa di era Sriwijaya dan Majapahit yang juga menghadapi tantangan besar dalam upaya mereka membangun dan mempertahankan kerajaan mereka. Pandangan ini menggarisbawahi pentingnya kerja keras, pengorbanan, dan kewaspadaan dalam mempertahankan kedaulatan dan menjalankan pemerintahan sebuah negara merdeka. 

Foto di kelola oleh tim residu lampau 


Peran R. Ngt. Soenarja Mangoenpoespita alias Rr. Siti Soekaptinah

Dibalik kisah Djawa Baroe menjalankan peran punting dalam era perang Dunia II (1942-1945). Ayah Sukaptinah adalah seorang abdi dalem bagian ibadah di Kraton Yogyakarta. Sementara itu ibunya membuka sebuah industri rumah tangga dengan membuat batik dan menerima pesanan makanan. Kakek Sukaptinah bernama Kandjeng Panembahan Mangkoerat yang dikenal dengan nama Pangeran Mangkoeboemi. Pangeran Mangkoeboemi, seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Salah satu peran utama yang dijalankan oleh Rr. Siti Soekaptinah adalah dalam bidang propaganda. Ia terlibat dalam mendukung narasi yang dipromosikan oleh Jepang, yang mencakup pentingnya peran perempuan dalam masyarakat baru yang dipimpin oleh Jepang. Pendidikan menjadi alat penting dalam propaganda ini, di mana perempuan didorong untuk mendukung cita-cita Jepang. Dalam masa pendudukan, tokoh-tokoh lokal seperti Rr. Siti Soekaptinah sering kali diangkat untuk memimpin komunitas dalam mendukung kebijakan kolonial. Mereka menjadi jembatan antara pemerintah Jepang dan masyarakat lokal, membantu dalam pelaksanaan berbagai program sosial dan ekonomi. Peran Rr. Siti Soekaptinah dalam era Djawa Baroe menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh perempuan digunakan oleh kekuatan kolonial untuk mendukung agenda mereka, sembari tetap menampilkan peran penting dalam dinamika sosial-politik Indonesia pada masa tersebut.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url